sejarah kerajaan mataram
Warisan kemegahan Kerajaan Mataram abad ke-16 Pada abad ke 14, Pulau
Jawa berada di bawah kepempinan kesultanan Pajang yang berpusat di Jawa
Tengah. Sultan Hadiwijaya, Sultan yang memimpin pada saat tersebut
memberikan hadiah berupa Alas (hutan) Mentaok dengan area yang cukup
luas kepada Ki Gede Pemanahan. Hadiah ini diberikan setelah beliau
berhasil menaklukkan musuh kerajaan. Selanjutnya, Ki Gede Pemanahan
dengan keluarga dan pengikutnya berpindah ke Alas Mentaok, sebuah hutan
yang sebenarnya adalah pusat Kerajaan Mataram Hindu pada masa - masa
sebelumnya. Beliau membangun desa kecil di hutan tersebut.
Desa
berkembang dan setelah Ki Gede Pemanahan wafat serta digantikan oleh
putranya yang bernama Senapati Ingalaga, desa berkembang sangat pesat,
menjadi pusat kota yang ramai. Kota tersebut dinamakan Kotagede, yang
berarti kota besar. Selanjutnya, Senapati membangun benteng yang
mengelilingi keraton. Ada 2 (dua) benteng yang dibangun, yaitu benteng
dalam (cepuri) dan benteng luar (baluwarti), mengelilingi kota yang
mempunyai area 200 Ha. Kotagede juga dilengkapi dengan parit pertahanan
yang lebar seperti sungai, mengelilingi benteng luar. Selanjutnya,
terjadi peristiwa perebutan kekuasaan di Kesultanan Pajang, setelah
Sultan Hadiwijaya wafat. Putra mahkota yang bernama Pajang, pangeran
Benawa, berhasil disingkirkan oleh Arya Pangiri. Dengan berbekal bantuan
Senapati, pangeran Benawa berusaha merebut kekuasaan kembali. Arya
Pangiri pun akhirnya berhasil ditaklukkan namun beliau diampuni oleh
Senapati.
Setahun kemudian, Pangeran Benawa meninggal dan
Senapati ditunjuk untuk menjadi pemimpin Kesultanan Pajang. Sejak saat
itu Senapati dinobatkan menjadi raja pertama Mataram Islam, dengan gelar
Panembahan. Beliau tidak mau memakai gelar Sultan Pajang, dengan maksud
untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Dengan menjadi
raja Mataram Islam, Senapati menentukan pusat kota dan istana
pemerintahannya di Kotagede. Panembahan Senapati akhirnya wafat pada
tahun 1601 dan dimakamkan di Kotagede berdekatan dengan makam ayahnya.
Kerajaan Mataram Islam kemudian berhasil menguasai hampir seluruh Pulau
Jawa (kecuali Banten dan Batavia) dan mencapai puncak kejayaannya di
bawah pimpinan raja ke-3, yaitu Sultan Agung (cucu Panembahan Senapati).
Pada tahun 1613, Sultan Agung memindahkan pusat kerajaan ke Karta
(dekat Plered) dan akhirnya berakhirlah masa Kotagede sebagai pusat
kerajaan Mataram Islam.
Ada sejumlah peninggalan Kotagede yang
sangat menarik, sebagai peninggalan kerajaan Mataram Islam, seperti
makam para pendiri kerajaan, Mesjid Kotagede, rumah tradisional
berarsitektur Jawa Mataram, hingga sisa reruntuhan benteng. Kompleks
makam pendiri kerjaan Mataram berada sekitar 100 meter dari pasar
Kotagede, dikelilingi tembok besar dan kokoh. Pintu Gapura memasuki
kompleks makam ini masih memiliki ciri arsitektur budaya Hindu. Setiap
gapura memiliki pintu kayu yang tebal dengan ukiran yang indah dan
dijaga oleh sejumlah abdi dalem berbusana adat Jawa. Ada 3 gapura yang
harus dilewati sebelum masuk ke bangunan makam. Uniknya, kita diharapkan
untuk menggunakan busana adat jawa untuk memasuki area makam.
Pengalaman menarik menggunakan busana layaknya abdi dalem kerajaan Jawa
kuno. Kita akan melewati 3 gapura sebelum sampai ke gapura terakhir yang
menuju bangunan makam.
Untuk masuk ke dalam makam, kita harus
mengenakan busana adat Jawa (bisa disewa di sana). Pengunjung
diperbolehkan untuk masuk ke dalam makam pada Hari Minggu, Senin, Kamis,
dan Jumat, dengan periode waktu pada pk 08.00 - 16.00. Pengunjung tidak
diperbolehkan untuk memotret dan mengenakan perhiasan emas di dalam
bangunan makam. Sejumlah tokoh penting yang dimakamkan di sini adalah
Sultan Hadiwiijaya, Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senopati, dan anggota
keluarganya. Memasuki makam, suasana terkesan sepi dan tenang, serta
sangat khusuk. Keluarga kerajaan, baik kraton Yogyakarta maupun
Surakarta, masih menjaga kelestarian makam ini dengan sangat baik. Di
dalam kompleks makam, kita juga bisa menemui mesjid tertua di kota
Yogyakarta, yaitu Mesjid Kotagede. Selain itu, ada sejumlah rumah
tradisional Jawa Mataram, yang bisa dilihat di depan kompleks makam.
Masih terawat dengan baik dan rumah tradisional ini masih digunakan oleh
penduduk setempat sebagai tempat tinggal. Di sebelah barat daya dan
tenggara, kita juga bisa menemukan sisa reruntuhan benteng dengan tembok
setebal >1 meter. Sementara, untuk melihat sisa parit pertahanan
yang mengelilingi benter, kita bisa beranjak ke sebelah timur, selatan,
dan barat.
Di samping kompleks makam, kita juga bisa mendapati
tempat pemandian. Ada pemandian khusus pria dan wanita. Konon, air untuk
pemandian pria diperoleh dari sumber di dalam kompleks makam.
Sementara, air untuk pemandian wanita, diperoleh dari sumber pohon
beringin di depan gerbang utama. Konon, pohon beringin ini ditanam
langsung oleh Sunan Kalijaga dan telah berusia lebih dari 500 tahun.
Sangat besar dengan ketinggian lebih dari 30 meter, seakan menjadi
penjaga kompleks makam kotagede. Di dalam kompleks pemandian ini,
terdapat hal unik bagi masyarakat awam. Kolam pemandian bercampur dengan
sejumlah ikan dan ada ikan lele berukuran sangat besar bebas berenang
di sini. Ukuran panjang lele 80 - 100 cm membuat kita terpesona. Belum
lagi ada lele berwarna putih dengan bercak2 hitam, yang relatif langka.
Bagi pengunjung yang sekedar berwisata, bisa menikmati cuci muka tangan
dan kaki di sumur dekat pemandian. Sangat segar dan airnya bisa langsung
diminum.
Berjalan jalan sambil menelusuri sejarah Kotagede akan
menambah wawasan kita terhadap sejarah masa lalu kotagede yang pernah
menjadi pusat pemerintahan kerajaan Mataram Jawa. Budaya dan sejarah
patut dilestarikan karena merupakan asal muasal dari peradaban
masyarakat Jawa saat ini. Mengenal kota Yogyakarta tidak akan utuh tanpa
berkunjung ke kotagede, pusat kerajaan Mataram masa lalu.